Monday, November 5, 2012

Dewan Perwakilan Ra’ceto


Hari ini, 5 November, diperingati sebagai hari Guy Fawkes. Guy Fawkes adalah seorang militan yang berencana untuk meledakan gedung parlemen Inggris. Alasannya, parlemen Inggris dianggap terlalu memihak satu golongan agama dan menekan golongan agama yang lain. Sialnya, sebelum plotnya berjalan, rencana Guy Fawkes berhasil dicium pihak berwenang. Guy Fawkes akhirnya dihukum mati pada tanggal 5 November. Sampai sekarang, Guy Fawkes hidup di hati kita sebagai pengingat bahwa parlemen tidak selalu berada di sisi yang benar.

Dibawah spirit Guy Fawkes, tulisan singkat ini akan mencoba mengkritisi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Kita tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia membenci DPR. Tapi apa kita memiliki alasan yang benar untuk membenci? Disini kita akan menganalisis apa saja kecacatan DPR dan kenapa kita harus membenci mereka.

Dari zaman Soekarno….

Setelah Agresi Militer Belanda II selesai pada tahun 1949, Indonesia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengatur diri. Salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah membereskan landasan konstitusional berupa Undang-Undang Dasar. Lucunya, proses penggodokan Undang-Undang Dasar ini tidak selesai dalam waktu sepuluh tahun. Republik ini berganti undang-undang tiga kali sebelum akhirnya semuanya menyerah dan UUD 1945 kembali digunakan. Anggota parlemen yang didominasi tiga partai (nasionalis PNI, muslim Masyumi, dan komunis PKI) tidak bisa bersepakat akan apapun. Soekarno sempat gerah dengan parlemen yang defektif tersebut dan mengajukan untuk membubarkan parlemen serta membuat sistem satu partai. Sayangnya, hal itu tidak pernah terjadi.

Secara umum, contoh kasus ini menjadi gambaran kinerja DPR yang tidak pernah berubah sampai sekarang. Hingga kini, DPR tidak pernah lepas dari cap defektif dan inefisien. Tingkat keterselesaian undang-undang yang dicapai DPR selalu rendah. Pembahasan undang-undang selalu molor. Rapat berbiaya mahal yang dilaksanakan berkali-kali tidak pernah mencapai apapun yang berarti. Belum lagi kelakukan anggota DPR yang bolos rapat, tidur saat rapat, bahkan menonton video porno saat rapat. Semua ini menggambarkan betapa ‘tingginya’ semangat wakil-wakil kita tersebut.

Yang penting popularitas…

Saat eropa dilanda krisis, ada dua negara dari benua tersebut yang menunjukan kestabilan: Jerman dan Inggris. Jerman selamat karena budaya kerja keras mereka, sementara Inggris selamat karena satu orang: Margaret Tatcher. The Iron Lady, Margaret Tatcher, terkenal sebagai pemimpin Inggris yang dipuja sekaligus dibenci. Alasannya, kebijakan Tatcher tidak selalu mendukung kenyamanan rakyat. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan Tatcher cenderung‘memaksa’ rakyat Inggris untuk memilih antara bekerja keras atau tersingkir. Sadis memang, tapi kebijakan ini efektif untuk menggairahkan kembali perekonomian sang singa yang lama tertidur.

DPR kita adalah kebalikan total dari Margaret Tatcher. Bukannya memaksa masyarakat untuk bekerja lebih keras, DPR kita cenderung mendukung kenyamanan rakyat tanpa memperdulikan dampaknya pada perekonomian Indonesia secara keseluruhan. 

Saat ini, APBN negara tersedot gila-gilaan oleh subsidi Bahan Bakar Minyak. Pada tahun 2013, diperkirakan harga BBM dan konsumsi BBM masyarakat Indonesia akan terus meningkat. Artinya, akan lebih banyak dana APBN yang digunakan untuk subsidi BBM. Dana-dana yang seharusnya bisa digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur industri, pendidikan, dan kesehatan akhirnya akan habis untuk menalangi uang bensin kita. Meski begitu, DPR kita tidak tergerak untuk mengurangi subsidi dan menaikan harga BBM. April lalu, wacana penaikan harga BBM sempat digulirkan namun kemudian DPR ciut dan membatalkan prakarsa tersebut.

Alasan DPR untuk tidak menaikan harga BBM sangat sederhana: pemilu 2014 sudah didepan mata. Peningkatan harga BBM adalah isu yang sensitif. Tidak ada partai yang berani mengambil resiko untuk mengajukan/mendukung mosi peningkatan harga BBM. Mereka semua takut hal tersebut akan menyebabkan popularitas mereka turun. Nah, disini terlihat jelas bahwa bagi para wakil rakyat, popularitas jauh lebih penting dibandingkan kemaslahatan negara.  

Jadi…

Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu pilar dari demokrasi. Keberadaannya merupakan prasyarat dan indikator demokrasi suatu negara. Pertanyaannya, bagaimana apabila pilar tersebut tidak menyokong negara dan malah membebaninya?

Dua hal yang digambarkan diatas baru merupakan gambaran kecil dari seluruh kecacatan lembaga DPR. Sebelum bermimpi besar dan men-tweet berita-berita baik tentang Indonesia, kita seharusnya menyalurkan energi kita untuk memperbaiki lembaga legislatif kesayangan kita ini. Cara yang paling sederhana adalah mengikuti pemilu dengan cerdas dan bertanggung jawab. Saat ini, KPU telah melakukan terobosan dengan memperketat verifikasi partai layak pemilu. Tugas kita sekarang adalah memantau partai-partai yang lolos verifikasi sekaligus calon-calon yang mereka ajukan. Lalu pada 2014, pastikan anda memilih calon anggota DPR yang tidak cacat.

No comments:

Post a Comment