Hari ini, 5 November, diperingati
sebagai hari Guy Fawkes. Guy Fawkes adalah seorang militan yang berencana untuk
meledakan gedung parlemen Inggris. Alasannya, parlemen Inggris dianggap terlalu
memihak satu golongan agama dan menekan golongan agama yang lain. Sialnya,
sebelum plotnya berjalan, rencana Guy Fawkes berhasil dicium pihak berwenang.
Guy Fawkes akhirnya dihukum mati pada tanggal 5 November. Sampai sekarang, Guy
Fawkes hidup di hati kita sebagai pengingat bahwa parlemen tidak selalu berada
di sisi yang benar.
Dibawah spirit Guy Fawkes,
tulisan singkat ini akan mencoba mengkritisi kinerja Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia. Kita tahu bahwa mayoritas rakyat Indonesia membenci DPR.
Tapi apa kita memiliki alasan yang benar untuk membenci? Disini kita akan
menganalisis apa saja kecacatan DPR dan kenapa kita harus membenci mereka.
Dari zaman Soekarno….
Setelah Agresi Militer Belanda II
selesai pada tahun 1949, Indonesia akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mengatur
diri. Salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah membereskan
landasan konstitusional berupa Undang-Undang Dasar. Lucunya, proses penggodokan
Undang-Undang Dasar ini tidak selesai dalam waktu sepuluh tahun. Republik ini
berganti undang-undang tiga kali sebelum akhirnya semuanya menyerah dan UUD
1945 kembali digunakan. Anggota parlemen yang didominasi tiga partai
(nasionalis PNI, muslim Masyumi, dan komunis PKI) tidak bisa bersepakat akan
apapun. Soekarno sempat gerah dengan parlemen yang defektif tersebut dan
mengajukan untuk membubarkan parlemen serta membuat sistem satu partai.
Sayangnya, hal itu tidak pernah terjadi.
Secara umum, contoh kasus ini
menjadi gambaran kinerja DPR yang tidak pernah berubah sampai sekarang. Hingga
kini, DPR tidak pernah lepas dari cap defektif dan inefisien. Tingkat
keterselesaian undang-undang yang dicapai DPR selalu rendah. Pembahasan
undang-undang selalu molor. Rapat berbiaya mahal yang dilaksanakan berkali-kali
tidak pernah mencapai apapun yang berarti. Belum lagi kelakukan anggota DPR
yang bolos rapat, tidur saat rapat, bahkan menonton video porno saat rapat.
Semua ini menggambarkan betapa ‘tingginya’ semangat wakil-wakil kita tersebut.
Yang penting popularitas…
Saat eropa dilanda krisis, ada
dua negara dari benua tersebut yang menunjukan kestabilan: Jerman dan Inggris. Jerman
selamat karena budaya kerja keras mereka, sementara Inggris selamat karena satu
orang: Margaret Tatcher. The Iron Lady, Margaret Tatcher, terkenal sebagai
pemimpin Inggris yang dipuja sekaligus dibenci. Alasannya, kebijakan Tatcher
tidak selalu mendukung kenyamanan rakyat. Sebaliknya, kebijakan-kebijakan
Tatcher cenderung‘memaksa’ rakyat Inggris untuk memilih antara bekerja keras
atau tersingkir. Sadis memang, tapi kebijakan ini efektif untuk menggairahkan
kembali perekonomian sang singa yang lama tertidur.
DPR kita adalah kebalikan total
dari Margaret Tatcher. Bukannya memaksa masyarakat untuk bekerja lebih keras,
DPR kita cenderung mendukung kenyamanan rakyat tanpa memperdulikan dampaknya pada
perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Saat ini, APBN negara tersedot
gila-gilaan oleh subsidi Bahan Bakar Minyak. Pada tahun 2013, diperkirakan
harga BBM dan konsumsi BBM masyarakat Indonesia akan terus meningkat. Artinya,
akan lebih banyak dana APBN yang digunakan untuk subsidi BBM. Dana-dana yang
seharusnya bisa digunakan untuk membangun berbagai infrastruktur industri,
pendidikan, dan kesehatan akhirnya akan habis untuk menalangi uang bensin kita.
Meski begitu, DPR kita tidak tergerak untuk mengurangi subsidi dan menaikan
harga BBM. April lalu, wacana penaikan harga BBM sempat digulirkan namun kemudian
DPR ciut dan membatalkan prakarsa tersebut.
Alasan DPR untuk tidak menaikan harga
BBM sangat sederhana: pemilu 2014 sudah didepan mata. Peningkatan harga BBM
adalah isu yang sensitif. Tidak ada partai yang berani mengambil resiko untuk
mengajukan/mendukung mosi peningkatan harga BBM. Mereka semua takut hal
tersebut akan menyebabkan popularitas mereka turun. Nah, disini terlihat jelas
bahwa bagi para wakil rakyat, popularitas jauh lebih penting dibandingkan
kemaslahatan negara.
Jadi…
Dewan Perwakilan Rakyat adalah
salah satu pilar dari demokrasi. Keberadaannya merupakan prasyarat dan
indikator demokrasi suatu negara. Pertanyaannya, bagaimana apabila pilar
tersebut tidak menyokong negara dan malah membebaninya?
Dua hal yang digambarkan diatas
baru merupakan gambaran kecil dari seluruh kecacatan lembaga DPR. Sebelum
bermimpi besar dan men-tweet berita-berita
baik tentang Indonesia, kita seharusnya menyalurkan energi kita untuk
memperbaiki lembaga legislatif kesayangan kita ini. Cara yang paling sederhana
adalah mengikuti pemilu dengan cerdas dan bertanggung jawab. Saat ini, KPU
telah melakukan terobosan dengan memperketat verifikasi partai layak pemilu.
Tugas kita sekarang adalah memantau partai-partai yang lolos verifikasi sekaligus
calon-calon yang mereka ajukan. Lalu pada 2014, pastikan anda memilih calon
anggota DPR yang tidak cacat.
No comments:
Post a Comment