Friday, December 28, 2012

Korupsi di Indonesia at a Glance


Korupsi sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Mulai dari negara demokrasi pemula seperti Indonesia sampai negara demokrasi yang berpengalaman seperti Belanda pasti digerogoti oleh korupsi. Dari sudut pandang tertentu, kita bahkan bisa mengatakan bahwa korupsi-lah yang membuat sebuah negara berjalan. Logikanya, semakin banyak proyek pemerintahan, semakin banyak peluang korupsi yang bisa dilakukan anggota dewan. Oleh karena itu, para anggota dewan legislatif dan eksekutif kemudian menciptakan sebanyak mungkin proyek pemerintahan. Berkat hubungan yang absurd ini, di satu sisi negara semakin maju oleh proyek-proyek pemerintah sementara di sisi lain anggota dewan juga dapat mendulang emas. 

Untuk memahami korupsi, kita harus mengerti bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan bukanlah malaikat. Mereka bukanlah idealis-idealis yang bertujuan untuk membaktikan diri pada kemaslahatan negara. Sebaliknya, mereka hanyalah orang biasa yang butuh makan dan punya hawa nafsu. Mereka mengincar posisi pemerintahan karena posisi tersebut dapat memberikan kekuasaan (power) dan akses yang lebih besar terhadap sumber daya (resources). Karena sifat alami tersebut, maka seperti kata Lord Acton: power tends to corrupt. Orang-orang yang berkuasa dalam pemerintahan akan cenderung memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya sendiri.

Sistem demokrasi modern kemudian diciptakan untuk membatasi sifat alami tersebut. Lewat sistem pemerintahan keterwakilan yang ditentukan oleh masyarakat, maka orang-orang yang duduk di bangku kekuasaan harus berhati-hati agar tidak dipandang tidak becus oleh masyarakat. Disini kemudian tercipta keseimbangan yang rapuh antara keinginan sang wakil rakyat untuk melakukan korupsi dengan kemampuan rakyat untuk memecat wakil rakyat yang korup. Akhirnya, korupsi tentu tetap ada tapi dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan skala terbatas agar tidak memicu amarah masyarakat.

Keseimbangan inilah yang tidak ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia belum bisa mengawasi pemerintahan dan memilih dengan cerdas. Akibatnya, para anggota dewan pemerintahan tidak segan-segan melakukan korupsi. Korupsi dengan skala ‘luar biasa bodoh’ pun terjadi dimana-mana. Dana persiapan Sea Games dikorupsi sampai persiapannya kacau balau, dana pembangunan Stadiun Hambalang dikorupsi sampai stadiunnya tidak kunjung jadi, dana pembangunan jembatan dikorupsi sampai jembatannya ambruk dalam waktu singkat, dan lain-lain. Padahal kegagalan dalam proyek-proyek tersebut tentu mengirim sinyal besar bahwa ada yang tidak beres. Sama saja seperti mengetuk gedung KPK dan berteriak “Saya korupsi lho, pak!”

Selain karena gagalnya mekanisme keseimbangan demokratis, korupsi gila-gilaan di Indonesia juga disebabkan oleh mahalnya biaya pembelian kursi. Untuk memenangi pemilu, calon anggota dewan seringkali harus mengeluarkan biaya besar dari kocek pribadi. Dalam pemilu yang ideal, partai politik akan memilih beberapa kandidat dan membantu membiayai kandidat tersebut untuk berkampanye. Di Indonesia, malah kita yang harus membayar partai agar dipilih menjadi kandidat dan mendapatkan nomer urut yang tinggi. Dalam pemilu yang ideal, ada badan yang mengawasi dan mengatur manajemen pendanaan kampanye. Di Indonesia, kandidat dituntut untuk merogoh kocek sedalam-dalamnya tanpa batas untuk memperbesar kemungkinan menang. Bisa ditebak, balik modal merupakan agenda utama yang dikejar oleh para kandidat yang berhasil terpilih.

Banyak orang yang berkata bahwa budaya korupsi di Indonesia itu turunan dari Belanda. Menurut saya itu omong kosong. Budaya korupsi itu muncul dari kebodohan masyarakat dan kecacatan sistem di Indonesia.  

No comments:

Post a Comment