Korupsi
sebenarnya adalah bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Mulai dari
negara demokrasi pemula seperti Indonesia sampai negara demokrasi yang
berpengalaman seperti Belanda pasti digerogoti oleh korupsi. Dari sudut pandang
tertentu, kita bahkan bisa mengatakan bahwa korupsi-lah yang membuat sebuah
negara berjalan. Logikanya, semakin banyak proyek pemerintahan, semakin banyak peluang
korupsi yang bisa dilakukan anggota dewan. Oleh karena itu, para anggota dewan
legislatif dan eksekutif kemudian menciptakan sebanyak mungkin proyek
pemerintahan. Berkat hubungan yang absurd ini, di satu sisi negara semakin maju
oleh proyek-proyek pemerintah sementara di sisi lain anggota dewan juga dapat
mendulang emas.
Untuk memahami
korupsi, kita harus mengerti bahwa orang-orang yang duduk di pemerintahan
bukanlah malaikat. Mereka bukanlah idealis-idealis yang bertujuan untuk
membaktikan diri pada kemaslahatan negara. Sebaliknya, mereka hanyalah orang
biasa yang butuh makan dan punya hawa nafsu. Mereka mengincar posisi pemerintahan karena posisi
tersebut dapat memberikan kekuasaan (power)
dan akses yang lebih besar terhadap sumber daya (resources). Karena sifat alami tersebut, maka seperti kata Lord
Acton: power tends to corrupt. Orang-orang
yang berkuasa dalam pemerintahan akan cenderung memanfaatkannya untuk
kepentingan dirinya sendiri.
Sistem demokrasi
modern kemudian diciptakan untuk membatasi sifat alami tersebut. Lewat sistem
pemerintahan keterwakilan yang ditentukan oleh masyarakat, maka orang-orang yang
duduk di bangku kekuasaan harus berhati-hati agar tidak dipandang tidak becus
oleh masyarakat. Disini kemudian tercipta keseimbangan yang rapuh antara
keinginan sang wakil rakyat untuk melakukan korupsi dengan kemampuan rakyat
untuk memecat wakil rakyat yang korup. Akhirnya, korupsi tentu tetap ada tapi
dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan skala terbatas agar tidak memicu amarah
masyarakat.
Keseimbangan
inilah yang tidak ada di Indonesia. Masyarakat Indonesia belum bisa mengawasi pemerintahan dan memilih dengan cerdas. Akibatnya, para anggota dewan pemerintahan tidak segan-segan
melakukan korupsi. Korupsi dengan skala ‘luar biasa bodoh’ pun terjadi
dimana-mana. Dana persiapan Sea Games dikorupsi sampai persiapannya kacau balau,
dana pembangunan Stadiun Hambalang dikorupsi sampai stadiunnya tidak kunjung
jadi, dana pembangunan jembatan dikorupsi sampai jembatannya ambruk dalam waktu
singkat, dan lain-lain. Padahal kegagalan dalam proyek-proyek tersebut tentu
mengirim sinyal besar bahwa ada yang tidak beres. Sama saja seperti mengetuk
gedung KPK dan berteriak “Saya korupsi lho, pak!”
Selain karena
gagalnya mekanisme keseimbangan demokratis, korupsi gila-gilaan di Indonesia
juga disebabkan oleh mahalnya biaya pembelian kursi. Untuk memenangi pemilu, calon
anggota dewan seringkali harus mengeluarkan biaya besar dari kocek pribadi. Dalam
pemilu yang ideal, partai politik akan memilih beberapa kandidat dan membantu
membiayai kandidat tersebut untuk berkampanye. Di Indonesia, malah kita yang
harus membayar partai agar dipilih menjadi kandidat dan mendapatkan nomer urut
yang tinggi. Dalam pemilu yang ideal, ada badan yang mengawasi dan mengatur manajemen pendanaan
kampanye. Di Indonesia, kandidat dituntut untuk merogoh kocek sedalam-dalamnya
tanpa batas untuk memperbesar kemungkinan menang. Bisa ditebak, balik modal
merupakan agenda utama yang dikejar oleh para kandidat yang berhasil terpilih.
Banyak orang
yang berkata bahwa budaya korupsi di Indonesia itu turunan dari Belanda. Menurut
saya itu omong kosong. Budaya korupsi itu muncul dari kebodohan masyarakat dan
kecacatan sistem di Indonesia.